Sabtu, 25 Februari 2012

waktumu 30 hari saja

2 komentar
hari pertama
seperti biasa, saya mengirimkan ucapan selamat pagi yang paling mesra. hanya untuk sekedar mengingatkan bahwa kamu masih setia menjadi yang pertama, bahkan sebelum matahari tiba.

hari ketiga
saya sadar akan suatu hal yang belum pernah saya sadari sebelumnya. bahwa saya ini terlalu dewasa untuk masih harus dijaga. mungkin itu sebabnya kamu lebih memilih untuk menjaganya. dia tidak lebih kuat dari saya. mungkin lho ya :)

hari kelima
hati dan logika saya sedang berdebat dengan hebatnya. hati saya meminta untuk tetap mencintaimu seperti biasa. dan logika saya hanya menjawab dengan sederhana: tapi jangan cemburu ya!

hari kesembilan
ke-mati rasa-an saya sudah mulai muncul perlahan. apakah ini pertanda kebaikan?

hari kesepuluh
saya mencoba menjauh. menjauh dari apa yang membuat otak saya penuh dan keruh.

hari keduabelas
ah, ternyata saya masih mencintai kamu tanpa tetapi meskipun kamu sudah terlihat malas. saya sudah tidak butuh dibalas, saya hanya ingin membekas.

hari kelimabelas
hari ini kamu sudah tidak bisa diharapkan untuk ikut membantu saya menjaga perasaan. saya harus menjaga perasaan saya sendirian. itu kesimpulan.

hari kedelapanbelas
dan semakin hari kamu semakin tidak berperasaan. dan semakin hari saya malah semakin ingin mengucapkan selamat malam kepada kamu yang tidak pernah kesepian.

hari keduapuluhlima
hanya ada saya, kamu, secangkir teh, secangkir kopi, dan asap-asap yang berkeliaran dari kedua mulut kita. tanpa suara. dan hati saya ingin menjerit sejadi-jadinya. tapi tidak bisa.

hariketigapuluh
ini adalah hari yang saya janjikan 30 hari yang lalu sebagai hari dimana saya harus bisa menerima bahwa kamu memang tidak seharusnya saya harapkan. meskipun saya sepertinya gagal, setidaknya harus ada yang saya rayakan. maka saya memutuskan untuk bepergian. setidaknya setelah berbagai senja yang nantinya akan saya telan hingga pingsan, kamu akan menjelma menjadi senja yang tidak pernah saya sesali bila tenggelam secara perlahan.

Senin, 06 Februari 2012

koper dan rindu sialan

1 komentar
selembar kertas bertuliskan : gerbong 2 D18 saya genggam ditangan kanan. saya akan melakukan perjalanan. susah payah saya menyeret koper menembus kerumunan orang orang. ini bukan perjalanan yg ringan. langkah kaki saya terus melaju tanpa enggan. tapi hati ini terus saja melawan. entah apa yg dia inginkan.

koper ini sengaja saya kosongkan. karena saya ingin menaruh rindu ditempat yang aman. rindu yang tumbuh disetiap langkah yang menjauhkan. langkah yang saya tempuh untuk meninggalkan harapan dan sesuatu yang akan menjadi kenangan.

dan ketika nanti saya sudah sampai ditujuan. maka koper ini akan meluapkan rindu yang jumlahnya jutaan.
tidak tahu harus saya apakan.
mungkin akan saya telan. biar saya mati sekalian. overdosis rindu sialan!

Sabtu, 04 Februari 2012

dibaca : melankolia :)

0 komentar

Namanya sederhana saja. Tapi makna dia di kehidupan saya tidak sesederhana itu. Apabila saya diharuskan untuk mensyukuri hal-hal sekecil apapun setiap harinya, kehadirannya tidak pernah tidak ada dalam deretan doa saya. Dia, yang membuat saya tidak berhenti untuk tertawa, dan selalu menjadi alasan saya untuk berhenti meneteskan air mata. Dia bukan sahabat saya, dia saudara saya yang lupa diberi ikatan darah oleh Tuhan. Mungkin saat pembagian ikatan darah, kami sedang asik tertawa. Mungkin saja :P

Tahun ini tahun ketujuh kami saling bercerita tentang apa saja. Tujuh tahun terhebat yang pernah saya miliki seumur hidup saya. Ini bukan euphoria, ini nyata. Banyak saksinya : seragam putih abu-abu, jalanan macet setiap pagi, hujan di tengah hari, bahkan langit sore yang tidak pernah sama setiap harinya.

Saya berani berkata demikian, bukan tanpa alasan. Suatu hari disaat seluruh dunia memalingkan muka dan mengacuhkan saya, dengan berani dia tetap berada disana. Ditempat yang memang biasanya dia ada. Tidak peduli seberapa hina saya dimata semesta. Tidak peduli perkataan orang yang bahkan sulit dicerca. Dia ada. Semenjak saat itu saya berjanji kepada diri saya. Apapun yang akan terjadi kemudian, saya tidak akan pernah membiarkan kami berjalan terlampau berjauhan. Saya akan selalu berusaha bergandengan tangan. Menantang dunia yang penuh dengan bualan. Menatap rembulan dengan penuh khayalan. Sampai suatu saat yang tidak pernah terpikirkan. Bahkan ketika semesta mengharuskan kita untuk berjauh-jauhan. Seperti apa yang akan digariskan.

Jujur, tidak pernah terbayangkan dibenak saya, kalau kami harus dipisahkan oleh beribu-ribu kilometer yang nyata. Kemana saya harus membagi tawa? Bagaimana kalau saya ingin menghabiskan malam dengan segelas bir dan sebungkus rokok tanpa alasan apa-apa? Itu yang masih saya cari jalan keluarnya.

Tulisan ini terlalu berlebihan ya? Hahaha. Biarkan saja. Semesta juga kadang berlebihan kalau sudah memberi kita air mata. Kenapa kita tidak bisa?

Kamu itu dunia. Dunia yang tidak pernah saya cari, tapi saya temukan disela-sela kebahagian dan kesedihan, yang kemudian tidak pernah akan saya lepaskan.

Terimakasih untuk tujuh tahun yang sangat hebat. Dan lima puluh tahun lagi saya akan berkata : terimakasih untuk 57 tahun yang sangat hebat. Begitu seterusnya, sampai entah.

“they come and go, but you, come and never ever go”


Jumat, 03 Februari 2012

ini bukan surat, ini curhat!

2 komentar

Now Listening : Curhat Buat Sahabat – Dewi Lestari

Pertama, bayangkan saja kita sedang berada di atap rumah tempat biasa kita bercerita ya. Ada secangkir teh hangat kesukaan saya, dan secangkir kopi panas yang tidak pernah absen kamu minum setiap harinya. Dan dua bungkus rokok yang bermerek sama. Eh, bukan. Rokok kita sekarang seringkali berbeda. Saya tidak tahu alasan kamu sekarang sering berpaling dari rokok yang rasanya seperti surga ini, tapi yasudahlah. Mungkin kamu sedang bosan.

Lalu, darimana saya harus memulai? Tentu saja saya yang harus memulai, karena memang saya yang ingin bercerita. Sudah lama sekali semenjak terakhir kita bertemu, saya bahkan sudah tidak ingat lagi baju apa yang kamu pakai waktu itu. Kita sedang tenggelam dalam hegemoni dunia yang semakin kesini semakin kejam dan tak kenal ampun. Jujur, saya kelelahan. Saat-saat seperti inilah yang saya butuhkan. Untuk sekedar memahami kalau saya masih punya orang seperti kamu. Saya telah melalui banyak hal, dan saya yakin kamu juga. Saya bisa mengetahuinya dari setiap tweet-tweet mu. Kita telah melalui banyak hal, yang sangat melelahkan. Tapi ijinkan saya bercerita terlebih dahulu ya?

Semalam saya bersedih. Tapi bukan sedih yang seperti biasanya. Rasanya sungguh perih. Kamu pasti tahu penyebabnya. Tidak lain dan tidak bukan …itulah. Semalam saya merasa sangat tidak dihargai. Saya benar-benar tidak dihargai. Sebenarnya hal seperti itu akhir-akhir ini sering terjadi, tapi entah mengapa saya masih saja bisa bertahan. Tapi tidak untuk semalam. Segala doa sudah saya ucapkan, segala puji-pujian saya lantunkan kepada Tuhan, tapi tetap tidak bisa mengobati luka yang saya rasakan. Saya hanya ingin mempercepat waktu, atau keluar dari keadaan ini, secepatnya. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya terlalu lemah untuk urusan yang satu ini. Saya tidak bisa begitu saja pergi karena satu dua hal yang sungguh tidak bisa saya ceritakan. Tapi percayalah, saya benar-benar ingin keluar.

Kepada siapa lagi saya bisa bercerita tentang keabstrakan kisah hidup saya kalau bukan dengan kamu? Yang mungkin masih terjebak dalam situasi yang hampir sama. Kamu satu-satunya orang yang bisa menguatkan saya dengan sebuah pelukan, segelas teh hangat, dan selembar selimut hangatmu. Saya merindukan itu. Saya ingin menangis, tapi untuk apa? Untuk siapa?

Kali ini saya sudah tidak tahu lagi harus meminta apa kepada Tuhan. Saya juga bingung apa yang bisa kamu bantu. Saya hanya butuh teman yang berani mengatakan kepada dunia, kalau tidak ada yang lebih hebat dari kita berdua. Karena kita terlalu tangguh untuk dijajah semesta. Karena kita tidak mudah putus asa dan selalu mencoba bertahan apapun keadaannya. Percayakah kamu, saya menangis ketika menuliskan ini. Sungguh. Saya sangat merindukanmu. Merindukan semangat yang selalu kita bagi di setiap senja yang penuh melankoli.

Harus kemana saya mencari tawa yang dulu selalu menemani langkah kita? Tawa yang benar-benar tawa, bukan semacam topeng semata. Saya tidak bisa sebahagia dulu sekarang. Entah kemana saraf bahagia saya menguap. Tolong, ini yang saya minta dari kamu, bantu saya mencari saraf bahagia saya yang sudah lenyap.

Abstrak sekali ya cerita saya? Ya memang begitu keadaannya. Saya pun sampai sekarang juga masih belum percaya saya ada disini, dengan orang-orang itu, dengan perasaan yang demikian. Menurut saya ini terlalu jauh, terlalu dalam, dan saya ingin kembali ke kehidupan normal yang dulu pernah saya miliki. Apakah kamu juga merasakan demikian?

Saya rindu kamu, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Saya rindu mengunyah senja hingga dini hari tanpa tidur. Saya rindu bercerita hingga berjam-jam lamanya tanpa mendapatkan kesimpulan apa-apa. Saya rindu menertawakan kepedihan yang kita alami. Saya rindu.

Terimakasih banyak ya, sahabatku. Saya mau sembahyang dulu. Dan kamu tahu apa yang ingin saya panjatkan kepada Tuhan setelah ini? Saya minta agar kita bisa dipertemukan secepatnya, di suatu langit sore yang syahdu, dan membawa pulang saraf bahagia yang telah lama hilang, kemudian kita bisa tidur dengan tenang, dengan senyum yang mengembang.

Oh iya, selain kamu yang saya rindukan, saya juga merindukan hal lain, yaitu : TIDUR.

:P

Rabu, 01 Februari 2012

Rindu, jangan datang sebelum jam sembilan malam

0 komentar

ini baru jam enam. Saya baru akan makan malam. Kamu sudah seenaknya ada disana. Di suatu sudut hati yang sudah berdebu dan hampa. Merengek minta diperhatikan. Saya mau makan, rindu. Bisa pergi sebentar? Sudah berapa kali saya bilang, kamu boleh datang setelah jam sembilan malam. Kamu baru akan saya perhatikan setelah jam sembilan malam. Kamu boleh meminta apa saja. Kamu boleh meminta untuk menelponnya. Kamu boleh meminta untuk melihat senyumnya. Kamu boleh meminta pelukkan hangat darinya. Tapi semua itu akan kamu dapatkan setelah jam sembilan malam. Bukan sekarang. Sekarang baru petang. Matahari baru saja pergi untuk menemui keluarganya yang juga butuh kehangatan, dan bahkan saya yakin dia belum sampai rumahnya. Bulan baru dalam perjalanan, untuk kembali merekatkan hati-hati yang patah lewat sinar redup manjanya. Dan kamu, seharusnya sekarang masih ditempat asalmu, yang tidak pernah saya tahu.

Rindu, maafkan saya. Kalau kamu merasa tersiksa dengan hal demikian, saya pun merasakan. Bahkan lebih tersiksa dari yang kamu bayangkan. Saya senang setiap kamu datang, sungguh. Tapi keadaan memaksa saya untuk mentaati peraturan yang ada. Setiap kali saya mengusir kamu, saya pilu. Saya ragu. Apakah ini benar saya atau hanya semu?

Rindu, percayalah. Suatu saat nanti, saya dan kamu akan leluasa untuk bertemu. Tidak terbatas waktu. Suatu saat yang saya janjikan untuk kamu. Suatu saat yang telah ditulis Tuhan dalam buku harianNya. Tapi maaf kalau itu masih lama. Karena saat kamu bisa leluasa menemui saya, itu berarti kamu sudah merengek untuk orang yang berbeda. Bukan dia yang sekarang masih kita puja-puja.

Saya percaya kamu bisa melewatinya. Tapi ingat satu hal ya. Jangan datang sebelum jam sembilan malam. Karena sebelum jam sembilan malam, dia sedang sibuk bersama rindu milik yang lain.