Sabtu, 23 April 2011

kamu, kamu, kamu, dan kamu :)

2 komentar
Sekarang saatnya menyelimuti diri sendiri,
dengan angan-angan atau bahkan dengan kenangan yang perlahan sembunyi.
Terlalu sering mengumbar logika, membuat perasaan saya mati.
Tapi terkadang perasaan saya menjadi tidak tahu diri,
jika terlalu sering dituruti.
Sekarang mau itu, besok mau ini.
Selalu meminta lebih setiap hari
Saya jadi berpikir begini,
apa saya bunuh saja dua-duanya biar sepi sekali?
Nanti kalau saya tidak punya logika lagi,
bagaimana saya bisa memikirkan kamu setiap hari?
Kalau perasaan saya mati,
apa yang bisa saya berikan buat kamu, pencuri hati?
Ah, saya jadi ragu lagi.
Yang jelas, saya mau mencintai kamu setiap hari.
Tanpa berpikir bagaimana ujung kisah ini.
Tanpa ada yang harus merasa disakiti.
Karena saya terlalu menyayangi kamu kamu kamu dan kamu yang setiap hari ada disini.
Sungguh, saya berani bersumpah atas apapun yang ada di dunia ini.
:)

saya dan teman pencerita

0 komentar

Masa depan itu seperti apa ya?

Apakah ia seperti barisan semut yang selalu menyapa? Kemana saja selalu bersinggungan apabila bertemu kawan sebaya. Tidak pernah lupa untuk selalu berbagi beban hingga tawa. Akan selalu ingat bahkan ketika tubuh sudah renta.

Apakah ia seperti pasir di lautan? Hidupnya bergantung pada hembusan angin dan deburan ombak yang jantan. Kadang mengambang di air yang menghampar, kadang menyenderkan diri di kaki-kaki pepohonan. Selalu menikmati kenyataan. Dimana saja bisa merebahkan diri dengan pelan, tak pernah enggan.

Apakah ia selalu ramah seperti penduduk desa? Menyapa siapa saja yang datang ketempatnya. Menyambut dan memberi minuman dengan segelas cangkir tua. Menemani menikmati senja sambil bercerita. Dari malam hingga pagi buta, tidak berjeda.

Di benak saya, masa depan itu individual. Nyata dan tidak pernah membual. Memberikan pertanyaan yang kadang janggal. Sulit dicerna dengan akal. Teman pencerita sudah tidak mau tinggal, bahkan untuk mendengarkan cerita yang tinggal sepenggal. Pergi begitu saja tanpa rasa menyesal. Sungguh masa depan yang begitu individual.

Teman pencerita, lalu bagaimana dengan kotak impian kita? Kotak yang kita sanjung-sanjung sedemikian rupa, dan akan kita buka ketika kita sudah renta. Kita tiup debu-debu yang bertaburan diatasnya. Kita buka pelan-pelan untuk mengambil isinya. Kita nikmati kenangan-kenangan didalamnya sambil tertawa. Bukankah itu rencana kita? Apa masih bisa terlaksana? Jika sekarang saja kita sudah sulit menyamakan persepsi tentang semesta dan senja. Pecayakah kamu, saya sangat sedih bila mengingat realita dan gambaran masa depan yang masih maya.

Satu hal yang ingin saya lakukan saat ini, teman pencerita. Saya ingin menghentikan siklus ini barang lima detik saja. Untuk menyadarkan kamu, bahwa saya disini sangat tersiksa, karena kamu yang tak mau lagi bercerita. Dan saya tidak tau apa sebabnya.

18 april 2011

Minggu, 03 April 2011

sandiwara jatuh cinta

0 komentar
Saya mendeskripsikan diri saya sebagai seseorang yang diseret ke dalam sebuah sandiwara. Menikmati peran yang dihadiahkan, apapun bentuknya. Meskipun sering memendam kecewa, tapi apa daya? Saya menjadi lemah jika berada dihadapannya. Dia si sutradara. Yang seringkali saya sebut namanya di dalam doa. Yang selalu membuat hal nyata menjadi maya. Tapi entah kenapa saya menikmatinya. Dan terus membiarkan diri saya terperosok sedalam-dalamnya.

Hening.

Tidak ada sorot lampu yang terang benderang
Tidak ada tepuk tangan penonton yang bergemuruh lantang
Tidak ada pemeran pengganti yang siap ditantang

Benar-benar hening.

Dengan mata terpejam saya menyeret kaki-kaki ini. Perlahan masuk menuju ke dalam panggung yang sangat sepi. Saya tetap terpejam sambil berdoa lirih dalam hati. Saya tidak berani membuka mata saat ini. Kenyataan ini terlalu menyurut semangat saya untuk berjalan dengan raut wajah berseri-seri. Saya memilih begini. Menunggu keajaiban seperti menunggu mati. Menunggu sesuatu yang tidak pasti. Sangat tidak pasti.

Ah! Itu dia! Sang pemilik suara sudah ada disana. Suara yang selalu saya rasakan indahnya ketika dunia saya sedang murka. Dia sudah berada di panggung sandiwara. Entah bersama siapa. Suaranya terus bergema di telinga. Suaranya mengisyaratkan dia sedang tertawa. Entah karena lelucon siapa. Saya tetap berjalan dengan hati dan asa yang tersisa. Sambil berdoa, semoga dia datang menjemput dan memapah saya ke dalam alam bawah sadarnya.

Saya beranikan diri untuk membuka mata yang terpejam. Mencoba meghadapi kenyataan yang demikian kelam. Ternyata memang benar, dia sedang duduk sembari tangannya menggenggam. Dengan latar suasana malam, tatapan matanya menyiratkan dia sedang berada di suatu alam, yang sepertinya membuat dia tenggelam. Saya pun mendekat dan menatap matanya tajam. Memberanikan diri memecah kesunyian yang kian mencekam, dengan berkata, “Bernyanyilah, hilangkan hati yang muram.”

kami bernyanyi berdua
kami berdansa
kami bersandiwara

lalu di akhir cerita,
kami jatuh cinta
:)