Jumat, 28 Oktober 2011

Kepada Tuhan kami semua

0 komentar
Kepada Tuhan kami semua.
Yang disembah dengan berbagai cara.

Ijinkan kami berteman, saling menyayangi, saling mendoakan, dan saling menjaga.
Selamanya.
Itu saja.
:)

Selasa, 18 Oktober 2011

2190 siang yang lalu

0 komentar

Saya menemukanmu disuatu siang. Kamu berdiri didepan sebuah ruang. Saya mengamatimu dari jauh, dari seberang. Saya sedang mencari, apa yang membuat kamu mempesona didepan semua orang. Dan saya tidak menemukannya terus terang. Kamu, begitu menarik perhatian memang. Tapi tidak seperti yang orang-orang bilang. dan harus saya akui, kamu yang saya temukan disuatu siang, telah mencuri ruang, di pikiran saya yang seketika hilang.

Saya mencarimu di siang-siang selanjutnya. Kamu selalu ada disana, seperti biasanya. Tetap dengan senyum yang menawan tanpa cela. Saya kemudian tersadar akan suatu hal, saya telah terpesona, seperti orang-orang pada umumnya.

Semenjak siang itu, dan 2190 siang yang telah berlalu, pikiran saya semakin tidak mampu menampung pesonamu yang kian menggebu-gebu. Lalu kamu, meluap begitu saja seperti laut yang biru dan abu-abu. Menggerogoti pintu hati saya dan masuk kedalam situ. Dan disanalah sekarang kamu. Tetap mempesona, seperti pertama kali saya menemukanmu di suatu siang yang biru, di 2190 siang yang lalu.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Senja dan Bangunan Tua

3 komentar

Disini hanya ada saya, bangunan tua, dan sebuah senja. Itupun termakan mega. Tapi cukuplah untuk membuat akhir pekan ini mendekati sempurna. Memang, senja kini menjadi klise karena hampir semua orang memburunya. Mereka berbondong-bondong ingin melalap senja, tanpa tahu benar apa yang tengah dinikmatinya. Mereka tergesa-gesa mengabadikan senja. Padahal tanpa mereka tahu, senja yang sebenarnya tidak bisa ditangkap dan direkam oleh siapapun dan menggunakan kamera apapun yang mereka punya. Saya selalu berfikir, dan sampai sekarang masih bertahan dengan analisa saya. Senja itu merupakan gejolak semesta. Semesta ingin mengajarkan kepada semua, bahwa proses perubahan dalam hidup itu bisa dibuat begitu mempesona. Semempesona senja. Yang jingga. Namun tak berjeda.

Tidak ada yang bisa menahan senja, termasuk bangunan tua tempat saya berada. Menurut saya, bangunan tua ini adalah penikmat senja paling setia. Ia tidak pernah sendirian, selalu ditemani ratusan orang yang ingin merekam momen berharga, semacam senja. Selalu ditumpahi keluh kesah semacam kesakitan atau bahkan cerita bahagia.Dinding-dinding yang usang itu membuat saya bertanya-tanya. Apakah mereka pernah lelah mendengarkan ribuan cerita yang hampir tiap hari datang menyapa?

Pada akhirnya saya juga menjadi mereka. Menjadi orang kesekian yang membagi cerita dengan bangunan tua, si penikmat senja yang paling setia. Tetapi saya tidak merekam, menangkap, atau mengabadikan senja. Senja itu selalu ada dalam hati saya, tidak pernah kemana-mana. Karena seseorang pernah memberikannya untuk saya. Dan sampai kapanpun, ia akan terus disana. Duduk dengan senja, disuatu ruangan di hati saya, hingga suatu masa, hingga semesta menjadi entah apa namanya :)

Rabu, 12 Oktober 2011

Sepucuk Surat Untuk Pagi

0 komentar

Saya menulis sepucuk surat untuk pagi. Disuatu hari yang terlalu dini. Ketika semua sedang sibuk bermimpi. Bermimpi tentang menjemput kekasih di ujung pelangi, atau bahkan menemukan kekasihnya berkekasih lagi . sementara semua sedang sibuk terhegemoni mimpi, saya malah sibuk menulis surat untuk pagi. Saya tidak pernah merasa sesemangat ini. Maka dari itu saya memutuskan untuk menulis surat, untuk pagi.

Lalu kira-kira begini bunyi surat saya untuk pagi:
Saya sungguh-sungguh mencintai kamu, pagi. Jangan pernah beranjak pergi. Dari hati. Apalagi dari imajinasi ini. Sekian saja barangkali. Semoga tidak mengganggumu yang sedang bersama kekasih hati :)

untuk lelaki yang selalu saya sebut dalam doa

0 komentar
Semburat senja yang selalu kamu tunggu kadang tidak begitu ramah. Seringkali ia seolah menyindir. Menyindir kehidupan, menyindir perasaan, menyindir kenyataan. Kehidupan kita yang terlanjur berantakan, perasaan kita yang sukar didefinisikan, dan kenyataan bahwa saya dan kamu sekarang tidak saling bergandengan tangan.

Saya tidak begitu tahu pasti, apa yang kamumakan untuk sarapan, siapa teman yang kamu kirimi pesan dikala makan siang, dan dengan siapa kamu menghabiskan separuh malam dibawah temaram lampu-lampu kota.

Kamu adalah secuil semesta yang pernah menyeruak tajam di fluktuasi kehidupan saya. Kamu merupakan bagian dari deretan penyemangat dalam hidup saya. Dan kamu ialah bunga tidur yang paling sering hadir menyemarakkan malam-malam saya.

Tulisan ini saya buat, ketika saya pikir kamu sudah tidak mampu lagi dicerna oleh akal dan dirasakan oleh hati saya. Ketika yang saya rasakan hanya kaku disekujur tubuh bila mendengar namamu disegala perbincangan. Ketika yang saya tahu hanya ingin menangis bila merasakan rindu yang tak kunjung menemukan rumahnya beradu.

Dan ketika saya tidak tahu harus berbuat apa dengan semua itu, saya hanya bersujud, berbincang kepada Tuhan, dan menyebut namamu berulang kali dalam perbincangan kami.

Ya, tulisan ini saya dedikasikan untuk kamu, lelaki yang selalu saya sebut dalam doa.