Rabu, 27 Maret 2013

jangan jadi hujan bulan juni milik sapardi

0 komentar
aku tidak setabah hujan bulan juni milik sapardi
jangan harap aku tabah untuk tidak menangis saat ini
bahkan, sapardi pun mengisahkan ketabahan melalui hujan bulan juni
tandanya, menangis adalah titik ketabahan yang paling tinggi

jadi
saat aku menangis, kamu harus berjanji
untuk menyayangi aku lebih hebat dari ini
untuk memeluk aku seperti aku tidak akan kamu temui lagi esok hari
untuk mencium keningku, sampai pagi

aku tidak ingin kamu menjadi hujan bulan juni milik sapardi
tapi aku ingin kamu lebih tabah dari apa yang kamu yakini

Senin, 18 Maret 2013

harapan dalam sebotol bir

0 komentar

“...semoga suatu hari nanti kami bisa kembali ketempat ini dengan perasaan yang lebih bahagia”

Selembar kertas itu kumasukkan ke dalam botol bir. Lalu aku tutup rapat-rapat agar dia tidak rusak terkena air laut dan pasir. Aku mulai merasakan getir. Akankan sepucuk surat dalam botol bir itu memberi perubahan pada takdir? Jangan. Jangan terlalu banyak berpikir. Berpikir hanya akan mengurangi keindahan matahari tenggelam yang baru saja terukir.

Aku sudah merencanakan suatu sore yang seperti ini. Berdiri diatas ketinggian yang entah berapa kaki. Dikelilingi laut yang menghampar layaknya tak punya tepi. Menunggu berjam-jam dalam balutan tawa dan sepi sesekali. Hanya untuk melihat matahari. Dan menunggunya tenggelam termakan ironi.

Ada yang luput dari sore itu. Ya, perasaan bahagiaku. Dan perasaan jatuh cintaku. Lupa aku bawa saat aku memasukkan pulpen ke dalam saku. Sebenarnya aku lupa menaruhnya dimana, terakhir aku lihat mereka berdua terselip diantara tumpukan buku. Ternyata tanpa mereka berdua, menelan senja itu tidak menghasilkan cerita baru.

Sebelum beranjak pulang, aku membisikkan sesuatu pada langit jingga yang indahnya tidak terbantahkan. Yang bahkan matahari pun tidak bisa mendengarnya karena aku berbisik dengan sangat pelan. Aku berkata, jatuhkanlah aku kali ini dalam kelelahan. Kelelahan tertawa dan ditertawakan. Aku tidak ingin lagi jatuh cinta seperti film drama murahan. Aku ingin jatuh cinta seperti komedian, dalam sebuah sketsa dagelan.

Aku ingin jatuh cinta dengan tertawa, kalau perlu sampai meneteskan air mata. Karena saat semua itu menjadi nyata, aku sedang jatuh pada cinta di titik tertingginya.   

Jumat, 08 Maret 2013

analogi patah hati

0 komentar

Buku itu masih berada disana. Di rak paling atas, yang tidak begitu memikat perhatian orang. Setiap kali aku ke toko buku ini, aku selalu berhenti didepannya. Memandanginya selama beberapa menit, kemudian bergegas pergi ke rak lain untuk mencari buku yang aku inginkan. Entah kenapa aku sangat menyukai buku itu. Mungkin karena sampulnya yang menurutku indah, padahal ia hanya bergambar sebuah bangku dibawah pohon pada sebuah taman suatu ketika di musim gugur. Atau karena judulnya, yang bahkan menurutku sendiri kadang sangat rancu. Falls.

Aku bahkan tidak pernah berniat memiliki buku itu, aku cukup senang dengan memandangi sampulnya. Menurut review yang aku cari di internet, buku itu hanya novel biasa. Isinya menceritakan tentang seorang gadis patah hati yang kemudian berkelana ke negeri yang sepanjang tahun hanya punya satu musim, yaitu musim gugur. Klise dan sangat tidak masuk akal menurutku. Tapi itu tetap tidak menggoyahkan kecintaanku terhadap sampulnya. Kesederhanaan bangku tua pada sampul buku itu, dan bagaimana dedaunan jatuh mengitarinya dengan sempurna, berhasil membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Beberapa bulan lalu, ketika aku berulang tahun, aku mendapat bingkisan tanpa nama, dengan ucapan selamat ulang tahun didalamnya. Setelah aku buka, isinya adalah buku itu. Falls. Lengkap dengan sampulnya yang membuat aku tergila-gila. Pada saat itu aku sangat gembira. Akhirnya buku itu ada di depan mata, bisa kupandangi sesuka hati sampulnya, bisa kubolak-balik halamannya, dan bisa aku mengerti isi ceritanya. Siapapun yang mengirimnya, aku ingin mengucapkan terimakasih yang tiada habisnya.
Setelah aku baca halaman demi halaman, ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang di internet tentang buku itu. Isinya cukup mengecewakan. Klise, tidak masuk akal, dan membolak-balikkan perasaan tanpa tujuan, tanpa kepastian bahwa aku akan menemukan pesan pada akhirnya. Aku kecewa. Aku kecewa bukan karena aku memiliki buku itu. Aku kecewa kepada diriku sendiri. Aku merusak imajinasiku sendiri tentang keindahan buku itu. Padahal bisa saja, buku itu aku terima, aku simpan tanpa merusak segelnya, dan aku pandangi saja sampulnya jika aku sedang ingin jatuh cinta. Seperti orang bodoh memang. Tapi itu akan jauh lebih baik, daripada aku harus mengetahui isinya dan kemudian aku kecewa.

Jatuh cinta memang kadang membuat kita bodoh, kan? Bukan kadang, selalu lebih tepatnya. Jatuh cinta selalu membuat kita lebih bodoh dari biasanya. Saat-saat bodoh seperti itulah yang akan kita rindukan keberadaanya, ketika kita sedang kecewa. Kecewa karena kita terlanjur mengetahui, apa yang membuat kita jatuh cinta dan tampak bodoh selama ini, ternyata tidak lebih dari segerombolan omong kosong dan hal-hal busuk yang tidak akan membuat hidup kita jadi lebih baik.

lima tahun yang lalu, aku jatuh cinta pada seseorang diatas panggung yang aku lihat saat ini. Dia tidak memainkan alat musik, tapi dia memainkan perasaan orang-orang dengan alat musiknya. Aku jatuh cinta, dan hal itu terjadi setiap hari sejak saat itu. Aku bahkan tidak tahu namanya, parfum yang dipakainya, atau buku kesukaannya. Dan aku yakin aku tidak akan pernah mau tahu tentang semua itu. Aku jatuh cinta kepada dia dalam jarak sejauh ini,dan aku bahagia. Itu saja

lima bulan yang lalu, aku patah hati dengan orang yang selalu mengajakku berdiskusi. Dia tidak mempermainkan aku, tapi dia membuat aku mempermainkan perasaanku sendiri. Aku patah hati, karena aku tidak cukup professional untuk menjadi teman yang dicari ketika sepi, dan kadang berbagi pelukan kalau sedang merasa melankoli. Aku bahkan tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan hingga aku merasa kecewa seperti ini. Dan aku yakin, aku tidak akan pernah tahu karena bukan kesalahannya aku patah hati, ini karena aku yang kadang bermimpi terlalu tinggi. Aku patah hati dengan dia, yang dulu aku cintai dalam jarak sejauh itu, dan kini harus aku tinggalkan ketika kami sudah sedekat ini.


“kalau aku punya mesin waktu, aku akan lebih memilih jatuh cinta denganmu dalam jarak sejauh kutub dengan garis katulistiwa yang semu. Daripada aku bisa memelukmu  setiap hari, tapi aku patah hati dan patah hati, berulang kali.”