Selasa, 25 Juni 2013

SPASI

0 komentar


Spasi. Sesuatu yang tidak pernah aku sadari menjadi hal yang sepenting ini. Aku terengah-engah seperti habis berlari, padahal aku hanya disini. Aku kehabisan nafas seperti mau mati, padahal aku sehat dari ujung kepala sampai kaki. Aku butuh spasi. 

Percakapan sore hari bersama sahabat di atap rumah, dulu terasa sangat murah. Sekarang kami harus membayar mahal demi setumpuk tawa hingga terengah-engah. Kami sibuk berbenah. Membenahi semua yang dulu pernah kami korbankan untuk sebuah kebersamaan yang kami anggap mewah. Kami sibuk berbenah. Hingga kami lupa caranya mengukir senja di atap rumah dengan tawa yang pecah. 

Kami punya banyak cadangan spasi, dulu. Sekarang kami harus mencarinya susah payah hingga hati terasa kelu. Aku rasa, spasi-spasi itu hilang diantara luapan rasa jatuh cinta yang datang menggebu-gebu. Semoga tidak hanya aku yang tersadar, bahwa jatuh cinta tanpa spasi itu juga membuat jiwa beku. 

“Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak bila ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang?”
-Dewi “dee” lestari

Jumat, 14 Juni 2013

aku lupa caranya menulis puisi

0 komentar


Setelah semua hiruk pikuk semesta yang semakin lama semakin susah ditebak, berhenti untuk kemudian berpikir bisa jadi adalah rekreasi. Aku susah payah mengingat, kapan terakhir kali aku melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Aku ingkar pada janjiku sendiri, bahwa bahagia itu harus aku yang membuat, bukan aku yang menemukan. Aku kesulitan mengeja perasaanku sendiri, apalagi harus mengatakannya. Aku tidak mampu. Aku hanya tahu aku sedang hilang, entah kemana. Aku terlarut dalam kebahagiaan yang aku temukan, hingga aku lupa caranya menulis puisi. 

Hidup adalah menulis, dan aku merasa sangat bernyawa ketika aku menulis puisi. Puisiku sendiri. Yang bahkan bagimu, bagi dia, bagi mereka, itu hanya sederet kata-kata yang tidak bisa dimengerti maknanya. Yang bahkan tidak ada indah-indahnya. Tapi disana, tergeletak sejumlah air mata yang tak sanggup keluar, tawa bahagia yang tak mampu terbagi, doa yang tidak mampu dipanjatkan, dan rintihan kesepian yang tak bisa diobati. Puisi-puisi itu adalah hidup, yang tak sempat atau tak mampu digoreskan di semesta.
Aku mencintaimu sayang, tapi puisi ini lain cerita

Pada bejana waktu yang tidak pernah bisa berhenti mengucurkan detiknya
Aku memasrahkan tabah, tabah karena kekenyangan bahagia
Aku terlalu disayang oleh sang pencipta
Semua doaku dijawab begitu saja, serta merta, semuanya
Aku malah terlena, dan lupa caranya berdoa
Dan saat sekarang bahagia itu mulai menunjukkan siapa dia sebenarnya
Aku ingin belajar, untuk memaafkan diriku sendiri dengan tabah yang seluas-luasnya
Bahwa ini proses, ini perjalanan, ini cerita
Bahwa semua genggaman tangan, pelukan, dan ciuman yang sekarang aku punya
Pasti akan memberi satu pelajaran yang luar biasa
Tentang bagaimana untuk tetap menulis puisi saat kita kebanjiran bahagia