Senin, 18 Maret 2013

harapan dalam sebotol bir


“...semoga suatu hari nanti kami bisa kembali ketempat ini dengan perasaan yang lebih bahagia”

Selembar kertas itu kumasukkan ke dalam botol bir. Lalu aku tutup rapat-rapat agar dia tidak rusak terkena air laut dan pasir. Aku mulai merasakan getir. Akankan sepucuk surat dalam botol bir itu memberi perubahan pada takdir? Jangan. Jangan terlalu banyak berpikir. Berpikir hanya akan mengurangi keindahan matahari tenggelam yang baru saja terukir.

Aku sudah merencanakan suatu sore yang seperti ini. Berdiri diatas ketinggian yang entah berapa kaki. Dikelilingi laut yang menghampar layaknya tak punya tepi. Menunggu berjam-jam dalam balutan tawa dan sepi sesekali. Hanya untuk melihat matahari. Dan menunggunya tenggelam termakan ironi.

Ada yang luput dari sore itu. Ya, perasaan bahagiaku. Dan perasaan jatuh cintaku. Lupa aku bawa saat aku memasukkan pulpen ke dalam saku. Sebenarnya aku lupa menaruhnya dimana, terakhir aku lihat mereka berdua terselip diantara tumpukan buku. Ternyata tanpa mereka berdua, menelan senja itu tidak menghasilkan cerita baru.

Sebelum beranjak pulang, aku membisikkan sesuatu pada langit jingga yang indahnya tidak terbantahkan. Yang bahkan matahari pun tidak bisa mendengarnya karena aku berbisik dengan sangat pelan. Aku berkata, jatuhkanlah aku kali ini dalam kelelahan. Kelelahan tertawa dan ditertawakan. Aku tidak ingin lagi jatuh cinta seperti film drama murahan. Aku ingin jatuh cinta seperti komedian, dalam sebuah sketsa dagelan.

Aku ingin jatuh cinta dengan tertawa, kalau perlu sampai meneteskan air mata. Karena saat semua itu menjadi nyata, aku sedang jatuh pada cinta di titik tertingginya.   

0 komentar:

Posting Komentar