Buku itu masih berada disana. Di rak
paling atas, yang tidak begitu memikat perhatian orang. Setiap kali aku ke toko
buku ini, aku selalu berhenti didepannya. Memandanginya selama beberapa menit,
kemudian bergegas pergi ke rak lain untuk mencari buku yang aku inginkan. Entah
kenapa aku sangat menyukai buku itu. Mungkin karena sampulnya yang menurutku
indah, padahal ia hanya bergambar sebuah bangku dibawah pohon pada sebuah taman
suatu ketika di musim gugur. Atau karena judulnya, yang bahkan menurutku
sendiri kadang sangat rancu. Falls.
Aku bahkan tidak pernah berniat
memiliki buku itu, aku cukup senang dengan memandangi sampulnya. Menurut review
yang aku cari di internet, buku itu hanya novel biasa. Isinya menceritakan
tentang seorang gadis patah hati yang kemudian berkelana ke negeri yang
sepanjang tahun hanya punya satu musim, yaitu musim gugur. Klise dan sangat
tidak masuk akal menurutku. Tapi itu tetap tidak menggoyahkan kecintaanku
terhadap sampulnya. Kesederhanaan bangku tua pada sampul buku itu, dan bagaimana
dedaunan jatuh mengitarinya dengan sempurna, berhasil membuatku jatuh cinta
pada pandangan pertama.
Beberapa bulan lalu, ketika aku
berulang tahun, aku mendapat bingkisan tanpa nama, dengan ucapan selamat ulang
tahun didalamnya. Setelah aku buka, isinya adalah buku itu. Falls. Lengkap dengan
sampulnya yang membuat aku tergila-gila. Pada saat itu aku sangat gembira. Akhirnya
buku itu ada di depan mata, bisa kupandangi sesuka hati sampulnya, bisa
kubolak-balik halamannya, dan bisa aku mengerti isi ceritanya. Siapapun yang
mengirimnya, aku ingin mengucapkan terimakasih yang tiada habisnya.
Setelah aku baca halaman demi
halaman, ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang di internet tentang buku
itu. Isinya cukup mengecewakan. Klise, tidak masuk akal, dan membolak-balikkan
perasaan tanpa tujuan, tanpa kepastian bahwa aku akan menemukan pesan pada
akhirnya. Aku kecewa. Aku kecewa bukan karena aku memiliki buku itu. Aku kecewa
kepada diriku sendiri. Aku merusak imajinasiku sendiri tentang keindahan buku
itu. Padahal bisa saja, buku itu aku terima, aku simpan tanpa merusak segelnya,
dan aku pandangi saja sampulnya jika aku sedang ingin jatuh cinta. Seperti
orang bodoh memang. Tapi itu akan jauh lebih baik, daripada aku harus
mengetahui isinya dan kemudian aku kecewa.
Jatuh cinta memang kadang membuat
kita bodoh, kan? Bukan kadang, selalu lebih tepatnya. Jatuh cinta selalu
membuat kita lebih bodoh dari biasanya. Saat-saat bodoh seperti itulah yang
akan kita rindukan keberadaanya, ketika kita sedang kecewa. Kecewa karena kita
terlanjur mengetahui, apa yang membuat kita jatuh cinta dan tampak bodoh selama
ini, ternyata tidak lebih dari segerombolan omong kosong dan hal-hal busuk yang
tidak akan membuat hidup kita jadi lebih baik.
lima tahun yang lalu, aku jatuh
cinta pada seseorang diatas panggung yang aku lihat saat ini. Dia tidak
memainkan alat musik, tapi dia memainkan perasaan orang-orang dengan alat
musiknya. Aku jatuh cinta, dan hal itu terjadi setiap hari sejak saat itu. Aku bahkan
tidak tahu namanya, parfum yang dipakainya, atau buku kesukaannya. Dan aku
yakin aku tidak akan pernah mau tahu tentang semua itu. Aku jatuh cinta kepada
dia dalam jarak sejauh ini,dan aku bahagia. Itu saja
lima bulan yang lalu, aku patah
hati dengan orang yang selalu mengajakku berdiskusi. Dia tidak mempermainkan
aku, tapi dia membuat aku mempermainkan perasaanku sendiri. Aku patah hati,
karena aku tidak cukup professional untuk menjadi teman yang dicari ketika
sepi, dan kadang berbagi pelukan kalau sedang merasa melankoli. Aku bahkan
tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan hingga aku merasa kecewa seperti ini.
Dan aku yakin, aku tidak akan pernah tahu karena bukan kesalahannya aku patah
hati, ini karena aku yang kadang bermimpi terlalu tinggi. Aku patah hati dengan
dia, yang dulu aku cintai dalam jarak sejauh itu, dan kini harus aku tinggalkan
ketika kami sudah sedekat ini.
“kalau aku punya mesin waktu, aku
akan lebih memilih jatuh cinta denganmu dalam jarak sejauh kutub dengan garis
katulistiwa yang semu. Daripada aku bisa memelukmu setiap hari, tapi aku patah hati dan patah
hati, berulang kali.”
0 komentar:
Posting Komentar