“...semoga suatu hari nanti kami
bisa kembali ketempat ini dengan perasaan yang lebih bahagia”
Selembar kertas itu kumasukkan ke
dalam botol bir. Lalu aku tutup rapat-rapat agar dia tidak rusak terkena air
laut dan pasir. Aku mulai merasakan getir. Akankan sepucuk surat dalam botol
bir itu memberi perubahan pada takdir? Jangan. Jangan terlalu banyak berpikir. Berpikir
hanya akan mengurangi keindahan matahari tenggelam yang baru saja terukir.
Aku sudah merencanakan suatu sore
yang seperti ini. Berdiri diatas ketinggian yang entah berapa kaki. Dikelilingi
laut yang menghampar layaknya tak punya tepi. Menunggu berjam-jam dalam balutan
tawa dan sepi sesekali. Hanya untuk melihat matahari. Dan menunggunya tenggelam
termakan ironi.
Ada yang luput dari sore itu. Ya,
perasaan bahagiaku. Dan perasaan jatuh cintaku. Lupa aku bawa saat aku
memasukkan pulpen ke dalam saku. Sebenarnya aku lupa menaruhnya dimana,
terakhir aku lihat mereka berdua terselip diantara tumpukan buku. Ternyata tanpa
mereka berdua, menelan senja itu tidak menghasilkan cerita baru.
Sebelum beranjak pulang, aku membisikkan
sesuatu pada langit jingga yang indahnya tidak terbantahkan. Yang bahkan
matahari pun tidak bisa mendengarnya karena aku berbisik dengan sangat pelan. Aku
berkata, jatuhkanlah aku kali ini dalam kelelahan. Kelelahan tertawa dan
ditertawakan. Aku tidak ingin lagi jatuh cinta seperti film drama murahan. Aku ingin
jatuh cinta seperti komedian, dalam sebuah sketsa dagelan.
Aku ingin jatuh cinta dengan
tertawa, kalau perlu sampai meneteskan air mata. Karena saat semua itu menjadi
nyata, aku sedang jatuh pada cinta di titik tertingginya.
0 komentar:
Posting Komentar