Setelah semua hiruk pikuk semesta yang semakin lama semakin
susah ditebak, berhenti untuk kemudian berpikir bisa jadi adalah rekreasi. Aku susah
payah mengingat, kapan terakhir kali aku melakukan sesuatu untuk diriku
sendiri. Aku ingkar pada janjiku sendiri, bahwa bahagia itu harus aku yang
membuat, bukan aku yang menemukan. Aku kesulitan mengeja perasaanku sendiri,
apalagi harus mengatakannya. Aku tidak mampu. Aku hanya tahu aku sedang hilang,
entah kemana. Aku terlarut dalam kebahagiaan yang aku temukan, hingga aku lupa
caranya menulis puisi.
Hidup adalah menulis, dan aku merasa sangat bernyawa ketika
aku menulis puisi. Puisiku sendiri. Yang bahkan bagimu, bagi dia, bagi mereka,
itu hanya sederet kata-kata yang tidak bisa dimengerti maknanya. Yang bahkan
tidak ada indah-indahnya. Tapi disana, tergeletak sejumlah air mata yang tak
sanggup keluar, tawa bahagia yang tak mampu terbagi, doa yang tidak mampu
dipanjatkan, dan rintihan kesepian yang tak bisa diobati. Puisi-puisi itu
adalah hidup, yang tak sempat atau tak mampu digoreskan di semesta.
Aku mencintaimu sayang, tapi puisi ini lain cerita
Pada bejana waktu yang
tidak pernah bisa berhenti mengucurkan detiknya
Aku memasrahkan tabah,
tabah karena kekenyangan bahagia
Aku terlalu disayang
oleh sang pencipta
Semua doaku dijawab
begitu saja, serta merta, semuanya
Aku malah terlena, dan
lupa caranya berdoa
Dan saat sekarang
bahagia itu mulai menunjukkan siapa dia sebenarnya
Aku ingin belajar,
untuk memaafkan diriku sendiri dengan tabah yang seluas-luasnya
Bahwa ini proses, ini
perjalanan, ini cerita
Bahwa semua genggaman
tangan, pelukan, dan ciuman yang sekarang aku punya
Pasti akan memberi satu
pelajaran yang luar biasa
Tentang bagaimana
untuk tetap menulis puisi saat kita kebanjiran bahagia
0 komentar:
Posting Komentar