Spasi. Sesuatu yang tidak pernah
aku sadari menjadi hal yang sepenting ini. Aku terengah-engah seperti habis
berlari, padahal aku hanya disini. Aku kehabisan nafas seperti mau mati,
padahal aku sehat dari ujung kepala sampai kaki. Aku butuh spasi.
Percakapan sore hari bersama
sahabat di atap rumah, dulu terasa sangat murah. Sekarang kami harus membayar
mahal demi setumpuk tawa hingga terengah-engah. Kami sibuk berbenah. Membenahi semua
yang dulu pernah kami korbankan untuk sebuah kebersamaan yang kami anggap
mewah. Kami sibuk berbenah. Hingga kami lupa caranya mengukir senja di atap
rumah dengan tawa yang pecah.
Kami punya banyak cadangan spasi,
dulu. Sekarang kami harus mencarinya susah payah hingga hati terasa kelu. Aku rasa,
spasi-spasi itu hilang diantara luapan rasa jatuh cinta yang datang
menggebu-gebu. Semoga tidak hanya aku yang tersadar, bahwa jatuh cinta tanpa
spasi itu juga membuat jiwa beku.
“Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada
jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa
bergerak bila ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang?”
-Dewi “dee” lestari