Doaku dibaca Tuhan. Tidak berselang
lama setelah aku menuliskan, aku diberiNya jawaban. Ini benar-benar cobaan. Bagaimana
bisa ini malah cobaan? Bagaimana tidak? Secepat itu Dia menjawab doaku, secapat
itu aku diberiNya kebahagiaan. Kebahagiaan yang selama ini benar-benar aku
inginkan. Tapi didalamnya tersimpan banyak persoalan. Persoalan yang harus aku
pecahkan sendirian.
Aku pernah mengeluh, aku kehausan.
Lalu aku menulis surat: aku haus, Tuhan. Keesokan harinya, secangkir teh sudah
muncul dihadapan. Aku kegirangan. Tuhan tahu benar aku suka minum teh. Setelah kucicipi
pelan-pelan, rupanya teh itu pahit rasanya. Kalau tidak aku habiskan, namanya
aku tidak menghargai pemberian Tuhan. Kalau aku paksa habiskan, kadang aku
tidak tahan akan pahitnya. Persoalan bukan?
Disinilah otakku dipaksa untuk
bekerja. Aku harus membiasakan diri menikmati kepahitan dalam secangkir teh
ini. Bagaimanapun, Ia tetap teh. Ia tetap bisa aku jadikan teman saat sedang
tidak ingin sendirian. Ia tetap mampu menghangatkan. Ia tetap bisa memberikan
kenyamanan yang selama ini aku butuhkan. Sepahit apapun itu, segetir apapun
itu.
Aku akan tetap berjuang
menghabiskan secangkir teh ini. Sambil mendengarkan lagu ini.
"Tetaplah menjadi secangkir teh kesukaanku, sayang. Dan kita akan menjadi pelengkap sore yang paling indah yang pernah Tuhan ciptakan"
0 komentar:
Posting Komentar