kepada jalanan basah yang masih menyiratkan aroma petrichor, aku menitipkan pertanyaan.
pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya sudah tidak bisa aku ajukan sendirian
seperti apa kabar kamu sekarang? sudahkah kamu makan?
apa kamu masih kelelahan, mengikuti alur hidup yang semakin tidak karuan?
sesederhana itu pertanyaanku, sesulit ini aku mengatakan
hingga harus aku menitipkannya pada jalanan, yang aku pun tidak tahu apakah ia berkenan menyampaikan.
kepada hamparan sawah yang hijau di belakang rumahmu, aku menitipkan rindu.
sudah berapa lama kita tidak bertemu? sampai aku lupa bagaimana suara tawa ringanmu.
sisa-sisa pertemuan terakhir kita waktu itu, masih aku simpan rapi dalam tas berwarna biru.
malam ini aku buka sedikit untuk mengingat kembali perdebatan kita tentang lampu apa yang paling cocok untuk menghiasi bangunan-bangunan tua itu.
lalu aku tutup kembali, karena aku takut menjadi candu. candu akan keajaiban cara berpikirmu.
kepada terang lampu kota yang pernah kita lewati pada suatu malam, aku menitipkan salam.
aku ingin bertemu denganmu, demi Tuhan semesta alam.
apapun yang nanti akan kita lakukan, sekalipun kamu hanya akan memilih untuk diam.
aku hanya ingin duduk di dekatmu, dan mencoba menghapus wajahmu yang muram.
dan kemudian aku memelukmu, untuk mendengarkan alunan nafas yang kamu tarik dalam-dalam.
kepada melodi tanpa suara yang kamu ciptakan, aku menitipkan angan-angan.
dalam melodi satu menit itu aku menyimpan banyak harapan.
harapan agar kamu mau menyelesaikan lagu itu, melodi keindahan.
harapan untuk dapat selalu menjadi yang pertama kamu cari saat kamu bahagia, kelelahan, hingga kesepian.
harapan untuk menjadi harapan kamu saat apa yang kamu harapkan tidak kunjung menjadi kenyataan.
aku akan dengan senang hati, membuatkanmu secangkir kopi
memutarkan lagu yang kamu sukai
memelukmu sampai pagi
mengisyaratkan bahwa kamu tidak sendiri
kecuali dengan tegas kamu menyuruhku pergi
aku akan dengan berat hati, pergi.