![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmzfd_QlW4JnjDCiPd_zUeNhM6DbLLp3NmeIeOhgZr6HIZXgVQqD6yuVpxGEHC-AHXxAOG5ybo0tc39O2xulhQrRer4rT92mrzCyqZrTL7Cm6xM2Ehloz2zyk9fGta51AxdPWobw8ldBEr/s200/IMG_0037.jpg)
Kalau kamu itu buku, saya mungkin sudah hafal diluar kepala, di halaman berapa kamu menangis, kamu tertawa, kamu terluka, kamu ceria. Paragraf demi paragraf hidupmu sudah saya pelajari dengan amat sangat teliti. Rima yang muncul dari hentakan langkahmu saya ikuti perlahan sambil menyamakan irama. Puisi yang kadang muncul ditengah syahdunya cerita cintamu sudah saya rekam baik-baik dalam memori jangka panjang. Para tokoh yang menyemarakkan ceritamu sudah saya pahami segala karakternya hingga seolah-olah saya mengenal mereka semua.
Kalau Tuhan itu dosen, dan kamu itu skripsi, saya yakin saya akan keluar dari ruangan ujian dengan nilai terbaik dan decak kagum dari penguji. Bagaimana tidak? Saya terlalu fasih menceritakan tentang kamu dan semua yang berada disekitarmu. Saya terlalu pandai menemukan masalah yang sedang kamu hadapi dan memberikan solusinya. Saya terlalu sabar untuk menyaksikan dan menyelami kehidupanmu selama bertahun-tahun.
Maka, kalau Tuhan itu dosen dan kamu adalah skripsi, saya tidak perlu bersedih lagi. Karena dimanapun dan dengan siapapun kamu berada, di dalam kamu tetap tertulis nama saya. Kamu milik saya.
Tapi Tuhan bukan dosen. Tuhan itu Tuhan. Tuhan tidak menguji saya atas pengetahuan saya tentang kamu. Tuhan menguji ketabahan saya melalui kehilangan kamu. Yasudah kalau begitu. Dan saya belum selesai, saya masih diuji.